Ini mungkin sebagai pernyataan yang tampak agak mengejutkan bahwa orang melayu sebenarnya berasal dari Kalimantan atau Borneo. Bagaimana pernyataan itu didapat dan dengan cara apa untuk membuktikan bahwa orang Melayu itu asal muasalnya adalah dari pulau Kalimantan? Inilah yang kini terus dilacak oleh para ahli dari berbagai disiplin keilmuan.
Beberapa pakar geologi menyebutkan bahwa kepulauan nusantara purba sesungguhnya adalah sebuah gugusan, baru sesudah berlangsungnya tragika dimana keadaan bumi kemudian mengalami pergeseran patahan melalalui laut dan pegunungan, nusantara terpecah kedalam lempengan gugusan yang membentuk pulau-pulai kecil. Istilah Nusantara (Nusa dan Antara) dalam hal ini menyangkut gugusan pulau dan laut Asia bagian Tenggara. Kini para ahli mulai menemukan bahwa berdasarkan kaedah ilmu linguistik serta dengan memanfaatkan ilmu arkeologi ada banyak persamaan yang muncul diantara pengguna bahasa di kawasan nusantara dan kawasan lain seperti Philipina, Thailand, Malaysia dan Brunei.
Bernd Notherfer (1996) misalnya menyebutkan bahwa dengan melihat adanya keanekaragaman bahasa Melayik yang sangat tinggi yang terdapat di pulau Borneo bagian barat, maka disimpulkan bahwa pulau Borneo harus diakui sebagai tanah asal usul bahasa Melayu.
Menemukan bukti
Menurut Benrd untuk membuktikan hipotesis bahwa Kalimantan sebagai tanah asal usul bahasa Melayu dapat dilihat dengan 3 (tiga) varian pelacak.
Pertama adalah dengan melihat dialek pemakaian bahasa, Kedua dengan mengamati keberlangsungan dari unsur bahasa purba yang masih dipertahankan dan Ketiga adalah melihat adanya unsur keanekaragaman (highest order of diversity), bahwa tanah asal usul suatu keluarga terletak pada daerah yang logat bahasanya paling beraneka.
Pembuktian lain yang dipakai untuk melakukan pelacakan asal muasal orang Melayu adalah dengan mengamati pola migrasi orang Melayu Purba dari tanah asal usulnya yang melakukan persebaran ke berbagai wilayah baik secara serentak maupun migrasi secara berangsur-angsur.
Pelacakan pola migrasi orang Melayu di Thailand Selatan (Urak Lawai Malai), orang Melayu di Philipina Selatan (Mindanao) atau lebih kecil lagi bagaimana pola migrasi orang Melayu Banjar ke wilayah Tembilahan masa sebelum kolonial.
Bahasa Melayu Purba
Bernd Notherfer memulai kajiannya yang penting dengan menganalisis isolek, dialek para penutur bahasa dengan meminjam Adelaar (1992) yang disebut ‘Bahasa Melayik Purba’ yang menurutnya termasuk dalam subkelompok bahasa Austronesia seperti dialek Iban, Sambas, Sarawak, Brunai, Berau, Kutai, Banjar, Ketapang, Bangka, Minangkabau, Jambi, Melayu Baku dan Jakarta.
Dengan menggunakan pendekatan keanekaragaman pemakai dialek yang tinggi, ternyata di bagian Kalimantan Barat terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain seperti daerah Sarawak, Sambas., Iban, Selako dan Kendayan sehingga daerah dapat disebut sebagai asal
usul orang Melayu. Pendapat ini didukung pula oleh Blust (1988) dan Adelaar (1992). Adelaar bahkan menolak hipotesis bahwa tanah asal usul orang Melayu terletak di Semenanjung Melayu.
Penting juga untuk diuraikan beberapa contoh penggunaan bahasa atau kata yang terdapat di beberapa pengguna bahasa di kawasan yang berbeda. Beberapa katab yang mempunyai arti yang sama meskipun dalam pengucapan, intonasi, dialek mengalami perbedaan. Penggunaan kata Gagap misalnya ditemukan di Sarawak, Iban, Brunei, Berau dan Banjar yang artinya meraba-raba. Kata Lanji juga dipakai di Sarawak, Iban, Brunei, Berau dan Banjar yang artinya berhubungan dengan kelakuan perempuan yang tidak sopan. Kata Linggar juga dipakai di Serawak, Iban, Brunei, Berau dan Banjar yang artinya mudah oleng. Kata Dudi, pemakaiannya ada di daerah Serawak, Iban, Selako, Katepang, Berau, Kota Bangun dan Banjar yang artinya kemudian ( Banjar : "ulun handak tulak haji baimbai umanya Aluh tahun dudi.").
Ada banyak contoh pemakaian kata yang sama dan hampir sama dengan pembunyian yang sama pula ditemukan di berbagai titik pemakaian bahasa yang menunjukkan bahwa
kemungkinan besar pada masa silam para penutur itu adalah berasal dari "juriat" yang sama atau merupakan sebuah rumpun pemakai bahasa yang sama.
Saya tidak hendak melanjutkan cerita ini dari aspek bahasa yang terlampau rumit kedalam kaidah ilmu bahasa, sebab ini jelas bukan bidang kajian maupun spesialisasi. Tulisan ini tak hendak menebar garam dalam lautan, karena boleh jadi akan sangat penting apabila ianya dibahas oleh para ahli bahasa di daerah ini.
Akan tetapi yang hendak disampaikan dalam kontek ini adalah pada bagaimana politik kebahasaan nusantara ini dalam perspektif kontemporer.
Politik kebahasaan yang dimaksud adalah sepertinya ada kekuatan besar yang mencoba untuk menenggelamkan aspek-aspek lokalitas yang sesungguhnya sudah menjadi sejarah purba bahasa orang Malayu.
Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila muatan lokal yang kini mulai bangkit di sekolah-sekolah mendapat dukungan semua pihak, seperti misalnya memperbanyak aspek-aspek keanakeragaman dalam pemakaian bahasa Melayu asli. Dalam kontek Kalimantan Selatan, tentu saja yang dimaksud adalah dukungan terhadap bahasa Banjar yang merupakan bagian dari bahasa Melayu.
Seberapa kuat bahasa lokal mampu bertahan ditengah datangnya "wabah bahasa" yang selumnya tidak pernah ada dalam khasanah kosa kata Melayu ? Meskipun harus
dipahami bahwa tidaklah mungkin bahasa Melayu tidak menyerap unsur bahasa luarnya, tetapi membiarkan bahasa Melayu menjadi sirna oleh penggunaan bahasa yang tidak bertanggungjawab, marupakan hal yang sia-sia, terutama bahasa yang dipakai oleh gerenasi muda.
Bahasa Dayak = Melayu Purba?
Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat diskusi di perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mempunyai koleksi lebih dari tiga juta buku yang berada pada lima lantai. Perpustakaan yang terbesar di Asia Tenggara. Teman duskusi saya itu berasal dari salah satu suku Dayak di Kalimantan Barat. Saya sangat respon bukan karena saya dan teman itu berawal dari faktor ke-dayak-an, tetapi lebih karena adanya minat yang sama untuk melakukan penelitian tentang etnik Dayak. Saya sedang meneliti etnik Dayak Bakumpai dari
aspek politik identitasnya sementara teman saya itu meneliti etnik Dayak dati aspek bahasanya.
Diluar dugaan, bahwa bahasa Dayak Bakumpai saya ternyata banyak persamaan dengan Bahasa Dayak yang dia gunakan di Kalimantan Barat itu dalam percakapan sehari hari.
Sekedar contoh persamaan kata antara bahasa etnik Bakumpai dengan etnik Dayak (maaf saya tidak dapat menyebutkan dari etnik Dayak mana) teman saya di Kalimantan Barat itu. Kata Panganen sama artinya ular sawa, Silu artinya kuku, Paii artinya kaki, Mate artinya Mata, Behas artinya Beras, Danum artinya air.
Saya terperanjat dengan persamaan bahasa itu lalu menghubungkanya dengan pernyataan Bernd yang ahli bahasa diatas dan kemudian mempertanyakan, kalau demikian halnya siapakah yang disebut manusia Melayu Purba itu. Kalau Bernd menyebut Melayu Purba itu datang dari pulau Kalimantan, maka pertanyaan selanjutnya tentu saja adalah siapakah penghuni pulai Kalimantan itu untuk pertama kalinya yang disebut bangsa Melayu Purba (Apakah suku Iban, suku Murut, suku Meratus, suku Siang, suku Bakumpai, suku Banjar dan suku-suku lain).
Kembali pada topik tulisan ini bahwa temuan para ahli terhadap semacam "mata yang rantai" asal usul bahasa Melayu dan mungkin juga cikal bakal orang Melayu, menjadi sangat berguna untuk kajian pelbagai disiplin ilmu. Tetapi menjadi penting sekarang adalah bahwa pemakaian bahasa Melayu seharusnya menjadi identitas yang semakin mengekalkan diantara penggunanya, tidak hanya pada lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga masayarakat.
Bahasa Melayu yang dimaksudkan dalam tulisan itu tentu saja adalah bahasa Melayu yang kini diajarkan di sekolah dan menjadi bahasa pengantar sehari-hari yaitu bahasa Indonesia yang sebenarnya ruh dan jiwanya berasal dari bahasa Melayu.
Labels:
SEJARAH
ASAL USUL SUKU MELAYU SEBENARNYA BERASAL DARI KALIMANTAN